Pemartabatan Tamadun Melayu

Sebuah Catatan dari Sudut Pandang Orang Pers.

I. Pendahuluan

Tamadun Melayu, dalam pemahaman sederhana, adalah semua warisan sejarah dan kebudayaan yang ujud dalam rentang waktu berabad-abad yang kemudian menjadi roh dan semangat masyarakat melayu dalam merapah kehidupan. Warisan itu ujud dari hasil jerih payah orang-orang Melayu yang kemudian memberikan kontribusinya pada kehidupan kemasyarakatan. Baik dalam lingkungan masyarakat Melayu sendiri, maupun komunitas lain di luarnya. Diantara kontribusi itu ada yang berhasil melintas waktu, jarak dan geopolitik. Tapi banyak yang juga kemudian tenggelam dan hanya menjadi catatan sejarah.

Dalam perujudan peradaban itu, kontribusi terbesar, tentulah berasal dari bidang kebudayaan dengan segala asfeknya. Dan dalam kerja besar kebudayaan itu, tentulah juga berbagai institusi kehidupan berperan. Bukan hanya institusi pemerintah, tetapi juga masyarakat, yang ujud dalam bentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti yayasan, perhimpunan budaya, ekonomi, politik, dan sosial lainnya. Artinya, jejak dan peran lembaga-lembaga non pemerintah itu sudah berjalan lama dan sangat signifikan dengan kwalitas peradaban Melayu yang ujud sekarang ini.

Kertas kerja ini memang akan lebih banyak membicarakan masalah kebudayaan Melayu dalam konteks keberadaannya. Kertas kerja ini juga akan lebih banyak mengambil Riau sebagai contoh-contoh masalah yang akan diketengahkan. Bagaimanapun Riau adalah salah satu jantung kebudayaan Melayu yang ada di Indonesia dan berinteraksi langsung dengan kawasan serumpun, seperti Malaysia, dan Singapura.

Secara rambang, memang ada beberapa permasalahan yang mengepung kehidupan kebudayaan Melayu itu, sebagai bagian penting proses perjalanan masyarakat Melayu, khususnya Melayu Riau untuk mengekalkan eksistensi tamadunnya. Antara lain, membekunya warisan kebudayaan yang ada, pewaris kebududayaan yang lemah dan miskin, dan kebudyaan Melayu yang senantiasa hanyut dalam pusaran kebudayaan dunia. Dalam kenyataan demikian itulah lembaga-lembaga swadaya masyarakat, khususnya dibidang kebudayaan itu berada dan memainkan peranannya. Apa yang mesti dilakukan dan apakah akan ujud ? Itulah antara lain pokok-pokok pikiran yang ingin diketengahkan dalam kertas kerja yang sederhana ini .


II. Warisan Kebudayaan yang Membeku

Sumbangan terbesar dan terpenting kebudayaan Melayu kepada kebudayaan nusantara ini adalah bahasa Melayu. Di Indonesia, bahasa Melayu telah menjadi cikal bakal bahasa nasional, bahasa Indonesia. Di Malaysia, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi. Di Singapura, meski terbatas, bahasa melayu tetap menjadi bahasa pergaulan baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Di Brunei pun demikian. Di Thailand bahagian selatan, bahasa Melayu masih menjadi alat komunikasi sehari-hari masyarakatnya. Bahkan sudah dilakukan berbagai upaya, agar bahasa Melayu dapat menjadi bahasa resmi di lingkungan negara-negara Asean. Tetapi, setelah bahasa Melayu, apa lagi yang telah disumbangkan oleh kebudayaan Melayu yang dinilai sangat penting dan monumental, sebagai ujud kebesaran dan keagungan dari tamadun Melayu itu ? Ini dibuktkannya dengan begitu sulitnya upaya negeri-negeri rumpun Melayu ini untuk berjuang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi Perserikatan bangsa-bangsa, meskipun penutur bahasa Melayu di dunia ini lebih kurang 300 juta orang, dari Malku sampai Madagaskar.

Memang agak sulit rasanya untuk menunjukkan apalagi kontribusi kebuadayaan Melayu sekarang ini kepada kebudayaan dunia. Di negeri yang tamadun Melayu masih kukuh dan menunjukkan keunggulannya, seperti Malaysia misalnya, yang secara ekonomi tampak lebih maju dan kukuh, mungkin akan ditemukan beberapa kontribusi yang bernilai strategis dan patut dipuji, terutama dibidang ekonomi, sains dan tehnologi. Tetapi, pencapaian cemerlang itu, sejauh mana sudah bergaung dan memberi pengaruh terhadap perkembangan sekitarnya, khususnya kawasan yang berbudaya Melayu ?

Pencapaian Malaysia dalam bidang ekonomi itu, sebenarnya patut dikekalkan dan diperluas, karena bagaimanapun sejarah sudah menunjukkan, bahwa yang membesarkan dan menyebarluaskan tamadun Melayu melalui bahasa Melayu ke seantero nusantara ini adalah para saudagar, para pelaut, para ulama, yang persebarannya didorong dan didukung oleh keunggulan ekonomi perdagangan. Keunggulan ekonomi yang dibangun dengan semangat kemelayuan dan berteraskan Islam itulah yang menjadi faktor penggerak dan pendorongnya, yang memberi warna dan mempercepat ujudnya sistim dan keunggulan tamadun Melayu, sehingga jejak Melayu itu tampak dimana-mana. Bisakah sejarah itu diulang kembali dalam ujud dan format zaman yang lebih baru ?

Di Indonesia sekarang, ujud keunggulan Malaysia dalam bidang ekonomi bisa dilihat dari sosok "Khazanah ", imperium bisnis keuangan yang kini merambah ke merata sektor ekonomi dan keuangan. Telkom Malaysia, Petronas, dan perusahaan-perusahaan besar kebun kelapa sawit. Tapi apakah kepiawaian dan konsep ekonomi Melayu moderen yang menyertai dan dikembangkan itu, bisa menjadi bahagian yang ikut membesarkan juga ekonomi rumpun Melayu yang lain ? Uang Indonesia yang mengalir deras ke Malaysia, apakah akan balik dan membesarkan masyarakat Melayu yang lain di Indonesia, Singapura, Brunei, dan lainnya ? Apakah yang tampak mengemuka kemudian bukan hanya tersisa issu asap, illegal logging , TKI dan sengketa tapal batas ?

Demikian juga dengan keunggulan maritim. Baik ilmu maupun tehnologinya. Rasanya sudah susah mencari jejak Melayu di samudera dunia ini. Keunggulan maritim itu kini tinggal menjadi warisan dan catatan sejarah. Itupun kalau masih ada yang mencatat dan menyimpannya di dalam mezium. Tapi dalam keseharian, keunggulan bahari itu, tidak dapat memberi inspirasi dan motivasi baru bagi masayarakat Melayu dalam merebut kembali laut dan samudera yang mengepungnya. Bagaimana mungkin akan menguasai, samudera kalau kita kini hanya bisa membuat kolek dan jongkong, dan bukan bahtera ?
Warisan sejarah dan peradaban yang dulu cemerlang, kini sudah membeku. Menjadi makalah, menjadi buku, menjadi artifak, dan menjadi sesuatu yang asing di sudut-sudut ruang mezium atau lemari universitas yang gelap. Jika dulu di sekolah-serkolah tehnik di Riau, misalnya, siswa masih diajarkan bagaimana membuat perahu, membuat tongkang, kapal dan lainnya, sekarang di sekolah menengah umum ( SMU ) siswa hanya diajarkan membaca buku cerita tentang jenis-jenis perahu zaman dahulu. Sementara jenis kayu pembuat perahu pun ,jangan-jangan mereka tak tahu. Mereka sudah tidak tahu tentang kayu resak, kayu kapur, kayu balau, dan kulit pohon Terap yang dulu dipakai untuk melapis bilang papan perahu, agar tidak bocor.

Begitu juga dengan ilmu kewiraan yang dulu pernah membuat para penjajah seperti Portugis, atau Belanda menjadi gerun dan hormat terhadap keberanian dan keunggulan strategi perang orang-orang Melayu. Dulu Raja Haji Fisabilillah digelar Hannibal dari Timur, karena keberanian dan keunggulan strategi perangnya. Sekarang, Raja Haji Fisabilillah sudah diberi gelar pahlawan nasional, tapi keahlian perangnya, tak pernah dikaji lagi secara mendalam agar hasilnya disumbangkan kepada negara serumpun untuk menjadi referensi bagi pembangunan angkatan laut negeri melayu lainnya. Di Kepulauan Riau, tempat Raja Haji bertempur dan menghancurkan armada-armada kompeni Belanda, hanya ada sebuah tugu yang bisu memandang laut, memandang pulau penyengat, yang sewaktu-waktu datang badai, dan kini sudah rubuh.

Di bidang bahasa dan sastra juga sama tragisnya. Setelah menyumbang bahasa, lalu kebudayaan Melayu tampaknya berhenti melakukan inovasi, khususnya dibidang sastra ini. Pantun Melayu misalnya, sebagai karya sastra yang dulu sampirannya selalu membuat bulu kuduk berdiri, seperti " Kalau roboh kota Melaka / Papan di Jawa kami tegakkan ", sudah kalah populer dengan pantun kilat ala Jakarta : "Buah salak, buah kedondong / jangan galak gitu dong". Padahal pantun Melayu, bukan hanya sarat dengan metafor yang berlatarkan sejarah dan keluasan informasi, tetapi juga dengan filosofi dan ajaran hidup. Karena pantun Melayu adalah karya yang lahir dari budaya masyarakat Melayu yang santun, yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi Islam. Sebenarnya, Pantun Melayu ini mempunyai peluang sangat besar untuk menjadi kontribusi unggulan, setelah bahasa bagi perkembangan kehidupan kebudayaan. Tapi kini, tradisi berpantun itu sudah semakin hilang, dan sekali sekala muncul dalam bagian-bagian akhir sambutan para penguasa negeri. Tapi tak ada lagi ekpresi, termasuk cinta remaja, yang disampaikan dengan pantun-pantun. Makanya, dengan realitas kebekuan seperti ini, tidak heranlah kalau nama besar Raja Ali Haji, pujangga dan filosof besar Melayu itu, hanya berhenti pada gelar pahlawan dan sebuah monumen, atau menjadi nama jalan ( itupun jalan yang tak sepadan dengan nama besarnya ), atau nama sebuah yayasan yang tampaknya terlalu berat memikul namanya, ketimbang output yang dihasilkannya.

Dengan beberapa contoh realitas seperti itu, apa yang dapat diharapkan untuk dilakukan para penguasa negeri dan pengelola lembaga-lembaga swadaya masyarakatnya untuk lebih memartabatkan tamadun Melayu itu ?
Pilihannya, memang adalah : bagaimana mencairkan kebekuan warisan tamadun itu. Bagaimana jejak kecermerlangan dan keunggulkan budaya Melayu itu, dapat memberi inspirasi, memberi semangat, mendorong masyarakat Melayu untuk membangun kebersamaan dan solidaritas kaum yang lebih kuat dan kukuh. Maju ke depan lebih hebat, dan mewariskan tamadun yang lebih unggul dari masa lalu. Bagaimana misalnya, dengan meminjam semangat Raja Ali Haji, dibangun Raja Ali Haji Centre, sebagai salah satu pusat keunggulan budaya Melayu. Institusi itu dapat dijadikan pusat studi dan kajian bahasa dan budaya terkemuka, dimana pihak-pihak yang memerlukan informasi dan study lainnya, akan datang ke sana dan mengambil manfaat dari keberadaan institusi itu. Disana warisan pikiran, semangat, karya, dan mimpi Raja Ali Haji dikembangkan, dan dijadikan inspirasi untuk menghasilkan pemikiran dan karya budaya baru yang dapat disumbangkan bagi kebesaran budaya dan tamadun Melayu. Tetapi, apakah bisa ? Beruntunglah kita masih punya seorang Mahyuiddin Al Mudra, seorang tokoh Melayu, yang dengan kepeduliannya terus berjuang mempertahankan keberadaan Lembaga Kajian dan Pengembamngan Kebudayaan Melayu, di Jogja ini, dan dengan Melayu Online nya telah menyebarkan Melayu dengan warisan buidaya dan pemikirannya ke seluruh dunia, dan masyarakat dunia rujuk ke sini, bila ingin memahami Melayu secara lebih luas. Beruntunglah kita masih pnya seorang Tenas Effendie, yang dengan ketekunan dan kepiawaiannya masih mewariskan buku-buku yang tak ternilai harganya tentang kebudayaan Melayu. Beruntunglah kita punya seorang seperti Prof Ismael Hussen dengan Gapenanya, dan beberapa lembaga lainnya. Tetapi akan sampai bila mereka bertahan, jika dibiarkan sendiri dan parsial dalam menantang zaman ?

III. Pewaris Kebudayaan yang Miskin

Sebenarnya bisa saja. Banyak contoh dari tamadun lain yang justru bagai lokomotif terus bergerak ke depan. Tamadun Islam tentu saja, Cina, Kristen, Yahudi, dll. Dan sebahagian besar kemajuan itu ujud dan berkembang karena ada kemauan politik dari penguasa negeri,kemampuan lembaga-lembaga masyarakatnya, perorangan yang sukses dan membagi kepeduliannya, dan sadar bahwa perjuangan menegakkan kebudayaan itu adalah perjuangan mempertahankan harkat dan martabat manusia, harkat dan martabat rumpun Melayu. Banyak Yayasan-yayasan kebudayaan dunia yang kuat dan berperan besar dalam melestarikan dan memberi kekuatan baru bagi kebudayaan mereka. Tetapi di negeri-negri dengan budaya Melayu sebagai bahagian kesadaran hidup, yang makin cumpang camping ini, rasanya perlulah kerja keras dan kesungguhan jika ingin membangun keunggulan dan ingin tamadun Melayu itu tetap dianggap sebagai salah satu tamadun yang unggul di dunia ini, paling tidak di rantau Asean.

Di Malaysia misalnya, jika kita berjalan di bawah bayang-bayang gedung Dewan Bahasa dan Pustakanya, tersirat rasa bangga, jangan-jangan disinilah masyarakat Melayu Malaysia mendisain ulang tradisi Melayu maju mereka. Mungkin di Putra Jaya, atau di sisa-sisa sejarah di Malaka. Dalam dekade terakhir ini harus diakui, Malaysia lebih banyak mengambil peran dan inisiatif dalam menggerakkan kembali semangat kemelayuan, hampir disemua bidang. Mereka menyelenggarakan seminar-seminar, dialog-dialog, pertemuan-pertemuan besar serantau, seperti pertemuan Dunia Melayu-Dunia Islam, Dialog Selatan, Dialog Utara, dan bahkan pertemuan para saudagar Melayu dan perhimpunan berteraskan Melayu lainnya. Ada keinginan kuat mereka untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat kemajuan dan perkembangan kebudayaan Melayu serantau. Untuk menyelamatkan warisan budaya yang dihasilkan dari kerja seorang budayawan seperti Pak Tenas Effendi misalnya, mereka melakukan langkah-langkah strategis, menghimpun semua karya-karya tersebut, dan termasuk membuatkan website khusus untuknya, sehingga siapapun kelak yang mau melakukan studi tentang kebudayaan Melayu dari pandangan Pak Tenas bisa melakukan akses ke sana. Berbagai aktivitas lain semacam itu juga mereka lakukan, dan semangat itu muncul hampir di semua Negara Bagian mereka.

Di Indonesia pun, semangat seperti itu ada. Di Riau misalnya, salah satu jantung kebudayaan Melayu di Indonesia, pemerintah daerahnya mendedahkan sebuah mimpi besar, yaitu ingin menjadi salah satu pusat perkembangan kebudayaan melayu. Ini merupakan bahagian dari Visi Riau 2020. Tetapi visi besar itu tentulah tidak mudah akan diujudkan di tengah prulalitas budaya masyarakatnya. Perlu kemauan politik dan pemimpin yang berhati besi, agar Melayu yang menjadi roh dan jati negeri itu, tidak hanyut oleh berbagai tekanan kepentingan kaum. Karena, sebagai pewaris kebudayaan Melayu di Riau ini, baik pemerintah maupun masyarakatnya, bukanlah kekuatan yang unggul. Sebahagian masyarakat Melayu hidup dalam kemiskinan dan hampir-hampir kehilangan akses ke sektor-sektor ekonomi di negerinya. Kekuatan pertumbuhan ekonomi Riau ada di sektor pertanian dan pertambangan. Tapi berapa banyak masyarakat Melayu yang eksis disana sebagai perencana, pelaksana, dan penikmat hasilnya ? Di kebun kelapa sawit yang hampir 3,5 juta hektar, orang Melayu paling banyak menguasai hanya 5% assetnya. Tidak terbayangkan akan ada kekuatan dari tiap tetes CPO yang dihasilkan dari sana dapat dipakai untuk membangun dan membangkitkan kebesaran tamadun Melayu.

Di bidang pemerintahan sebenarnya, kalau tamadun Melayu ingin dikukuhkan dan dimartabatkan lagi, rasanya bukanlah teramat sulit. Hampir semua pemimpin Riau sekarang ini, mulai dari bupati sampai gubernur, semuanya putera daerah dan orang Melayu. Juga jajaran pemimpin di lapisan lain seperti sebahagian Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi apakah terdapat cukup kuat kemauan politik untuk menjadikan tamadun Melayu sebagai teras tamadun daerah ini ? Apakah menyebut nama Melayu sekarang ini, masih saja seperti seperti dahulu, penuh rasa takut, rasa malu dan rasa gamang. Apakah orang melayu Riau, tetap seperti dulu dianggap sebagai " red indian ", untuk meminjam istilah Yang Terhormat Tan Sri Prof Ismael Hussen ?

Masyarakat Melayu Riau, sekali lagi, masih sangat lemah, khususnya dalam bidang ekonomi. Sehingga kalaupun ada LSM bidang kebudayaan yang tumbuh dan berkembang, namun kemampuannya sangat terbatas. Bukan hanya pada kemampuan dana dan daya untuk berkembang. Tetapi untuk bertahan saja, sering kali sangat sulit. Berapa banyak yayasan kebudayaan yang kini ada dan hidup di Riau dan kawasan lain yang berbudaya Melayu di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Jogja dan lainnya ? Karena itu, perlu dihargai dan disokonglah keberadaan Yayasan Tenas Efendi ini, karena paling tidak ini menunjukkan ada keinginan kuat, adanya sebuah semangat untuk memberi roh baru kepada tamadun Melayu. Perlu diberi hormat dan tabik, kepada para generasi muda dan mahasiswa yang terus berjuang untuk memberi jejak Melayu dimana-mana. Mereka ini dengan bangga mengatakan : Di jawa ada Melayu.............

Perjuangan mempertahankan dan memberi kekuatan pada suatu tamadun, tak dapat dilakukan tanpa kekuatan yang berarti di bidang ekonomi. Malaysia yang tampak berhasil melakukan berbagai upaya stategisnya, juga karena didukung oleh kekuatan ekonomi masyarakatnya, dan kemauan poltik pemerintahnya. Masyarakat Singapura, Brunei, juga demikian. Di Indonesia, khususnya Riau dan beberapa daerah yang berteraskan budaya Melayu, kekuatan ekonomi itulah yang masih sangat rendah, disamping kemauan politik elit penguasanya yang sulit dipegang. Pada waktu belakangan ini, memang ada semacam kesadaran baru untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Melayu, dengan munculnya berbagai organisasi Melayu yang berskala nasional, seperti Perhimpunan Masyarakat Melayu Baru. Gerakan Sejuta Melayu, dan lainnya. Secara lokal munculnya organisasi pemuda dan masyarakat Melayu seperti Laskar Hulubalang Melayu, Dewan Perniagaan Rumpun Melayu, dan lainnya, disamping yayasan-yayasan kebudayaaan. Tetapi sejauh mana kontribusi LSM-LSM ini terhadap proses meningkatkan harkat dan martrabat masyarakat dan kebudayaan Melayu itu, masih memerlukan waktu. Yang tampak mengemuka adalah lembaga-lembaga ini , sebagian telah mulai menjadi kenderaan politik untuk kepentingan yang justru akan menenggelamkan masyarakat Melayu itu sendiri.

Di Riau, negeri dengan tingkat pendapatan per kapita belum sampai US $ 1000 .-, apa yang dapat dilakukan masyarakatnya ? Dapatkah LSM-LSM bidang kebudayaan memberi kontribusi terhadap upaya mempertahankan dan melestarikan warisan sejarah dan budayanya, sepanjang keberadaan mereka yang sangat tidak mandiri ? Hanya pemerintahlah, khususnya Pemerintah Daerah lah yang bisa. Pemda-Pemdalah yang harus tegar hati, keras kepala, dan tidak takut dihantam siapapun, untuk menjadi kekuatan utama untuk menjaga dan membesarkan kebudayaan Melayu itu, secara berkelanjutan, strategis, dan konseptual. Bukan melalui proyek-proyek yang hanya sekali sekala, melalui parade tari misalnya, atau festival bangsawan, dll. Hanya dengan memanfaatkan secara maksimal hak otonomi permerintahan dan budget di daerah, tamaddun Melayu dapat diangkat dan dibesdarkan. Hanya kaum dan rumpun bangsa yang makmur lah yang bisa menghasilkan tamamdun besar.

IV. Kebudayaan yang Hanyut dalam Pusaran Budaya Dunia

Di tapak dunia pun tidaklah mudah bagi kebudayaan Melayu untuk mempertahankan dirinya. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh peradaban Melayu, adalah posisinya yang lemah dalam benturan peradaban dunia. Para pakar dunia menyatakan bahwa benturan peradaban yang kini sedang terjadi adalah antara peradaban Islam dan Barat. Dalam peradaban Barat itu didalamnya melekat kebudayaan Kristen dan Yahudi. Tetapi dalam realitasnya, peradaban Cina pun kini menjadi kekuatan yang sangat mempengaruhi perkembangan dunia. Terlebih dibidang ekonomi dan budaya. Sementara kebudayaan Melayu yang selama ini melekat pada kebudayaan Islam, hampir tidak mempunyai kekuatan unggulan untuk bertembung secara gigih dan terbuka dengan berbagai kebudayaan dunia itu. Jika kebudayaan Islam sampai saat ini tetap survive ditengah berbagai benturan itu, itu bukan berari kebudayaan Melayu juga dapat mempertahankan jatidirinya secara utuh. Penggerusan yang terus menerus melalui berbagai bidang, menempatkan kebudayaan Melayu dalam posisi yang sangat rentan dalam mempertahankan jatidirinya. Kebudayaan Melayu itu, makin sulit dipertahankan. Di Malaysia, mungkin kekukuhan tradisi dan benteng Islam masih memberi ruang cukup besar bagi budaya Melayu untuk tegak dan berjalan bersama masyarakatnya. Tapi di negeri-negeri lain, seperti Singapura, Indonesia, seberapa kuat pertahanan budaya Melayu menghadapi cabaran budaya dunia itu. Dapatkah indentitas kemelayuan itu bertahan hanya dengan menandai bumbungan rumah dengan atap limas, dan tangga semen, sementara di dalam hati dan jiwa penghuninya telah menjadi asing dan kehilangan identitasnya. Dapatkah Riau misalnya menabalkan identitas kemelayuan hanya dengan tetap berbaju melayu, atau atap selembayung, sementara sosok yang hidup dan tersarung didalamnya, tidak lagi dapat memahami arti indentitas yang dimilikinya. Dapatkah LSM-LSM kebudayaan yang didirikan hanya dengan semangat partisan, mempertahan keberadaan kultur melayu ditengah gempuran budaya dunia sekarang ini ?

Budaya Melayu kata sementara pakar budaya Melayu adalah kebudayaan yang sangat terbuka. Ibarat sebuah lemari, semua budaya lain bisa masuk dan menyimpan indentitasnya. Ibarat samudara luas, budaya Melayu, takkan hilang ditelan budaya lain. Tetapi keluasan dan keterbukaan itu, hanya mampu bertahan jika sendi-sendi utama kebudayaan itu tetap utuh dan terjaga. Yang selama ini menjadi bentengnya adalah tradisi Islami dan kelenturan prilaku. Masih kukuhkah kedua benteng kemelayuan itu, sementara bahasa, adat istiadat, dan prilaku hidup sehari-hari, sudah menjadi semakin sulit dikenali lagi inditasnya ? Kemajuan tehnologi komunikasi, informasi, dan ekonomi zaman baru telah mengubah segala sendi kehidupan demikian cepatnya, dan nyaris tak terduga. Di tengah gempuran budaya-budaya dunia yang demikian itu pulalah, budaya Melayu bertahan sebagai sebuah tamadun. Malangnya, rumpun melayu sebagai pewaris tamadun itu tidak lagi dalam kekukuhan solidaritas. Masing-masing kawasan dengan bawaan warisan peradabannya, bertarung sendiri-sendiri menghadapi tantangan itu. Kalau budaya Cina dapat eksis dengan membangun jaringan melalui Cina Perantuan, dimana jaringan Melayu dalam membangun keberadaannya di berbagai kawasan tempat budaya ini tumbuh dan berkembang ? Adakah LSM Melayu yang berkelas dunia yang dimiliki untuk dijadikan sandaran ?

Inilah yang kemudian juga menjadi tantangan semua lembaga kemasyarakatan yang ingin mengambil peran dan mewariskan masa depan tamadun Melayu.


V. Imperium Melayu Baru ?

Hari depan tamadun Melayu, memang memerlukan kesadaran baru. Memerlukan semangat kemelayuan yang baru, yang sesuai dengan perubahan zaman. Kesadaran yang tidak dapat dikurung dengan baju kurung, yang tidak dapat dikemas dengan atap limas. Tetapi kesadaran baru yang mampu menyatukan semangat kemelayuan di semua rantau kedalam satu semangat " Takkan Melayu Hilang Di Dunia ". Kata Dr Mahathir Mohammad, melayu baru itu adalah melayu yang cergas, mandiri dan bermartabat. Tapi bagiamana itu bisa diujud dan dikembangkan ?

Dulu memang ada sebuah wacana untuk meujudkan apa yang dinamakan "Melayu Raya". Sebuah gagasan politik yang ingin menyatukan semua kawasan yang berbudaya Melayu kedalam sebuah kesepakatan politik. Baik dalam konsep sebuah negara, maupun aliansi berdasarkan kesamaan budaya. Namun gagasan ini sangat sulit diujudkan, karena perubahan geopolitik di rantau nusantara ini telah menyediakan jurang ideologi yang sangat lebar dan sangat sulit dijembatani. Akhirnya, kebersamaan kultur itu, hanya terujud dalam persaudaraan budaya. Tukar menukar delegasi kesenian, dialog serantau, tukar menukar gagasan kebudayaan dan ikhtiar lain yang secara politis tidak berbahaya. Namun jelas, tak ada kekuatan orang Melayu untuk menunjukan kebersamaannya dalam mempertahankan jati diri kemelayuan itu dan dalam membangun keunggulan tamadunnya. Ada, tapi tak berdaya. Ada dan tidak berbahaya!

Tetapi, di bidang ekonomi, bukan tak mungkin. Globalisasi sekarang ini adalah wilayah tanpa batas yang bisa merambah kemana saja, melalui bahasa ekonomi, bahasa tehnologi, bahasa alam maya. Pemberdayaan secara ekonomi kawasan rumpun Melayu, bukan tak mungkin akan membangun sebuah kekuatan baru orang Melayu yang berdaya dan berupaya. Masuknya Khazanah ke dalam peta ekonomi Indonesia, misalnya, dapat menjadi sebuah contoh, bagaimana gagasan politik yang ditakuti itu, bisa ujud melalui instrumen ekonomi. Dengan semangat " Khazanah " itu, kekuatan bersama rumpun Melayu dapat membangun solidaritas baru, kebersamaan baru, kesadaran Melayu baru, sebuah imperium Melayu baru yang berwajah ramah, lentur, dan tidak berbahaya secara politik. Bukahkan budaya Cina, Yahudi, Islam, juga masuk kedalam sistim peradaban dunia, melalui jalan ekonomi. Sebuah jalan sutera menuju peradaban lain. China Overseas Bank, Bank Islam Dunia ( Islamic World Bank ), untuk menunjukkan beberapa contoh, upaya baru membangun solidaritas budaya perkauman. Mungkin sebuah Malay Incorporation ! Mungkin itu bisa diujudkan melalui instrumen Dunia Melayu Dunia Islam ( DMDI), yang mendisain secara sadar kekuatan utama orang Melayu serumpun, serantau, dalam bidang ekonomi. Sekali lagi, hanya rumpun bangsa yang makmur lah yang dapat mewariskan tamadun yang besar.

Sebuah intitusi ekonomi, juga sebuah LSM, sebuah upaya masyarakat untuk ujud, dan memberi kontribusinya pada perkembangan dan kemajuan sebuah tamadun. Malaysia sudah memulai, tinggal apakah Malaysia mau menjadikan keberhasilan mereka sebagai instrumen bagi membangun semangat Melayu baru, dan apakah orang Melayu Riau, Jambi, Palembang,Jogja dan lain rumpun Melayu di nusantara ini, mau melihat hal itu sebagai sebuah pejalanan orang Melayu membuat sejarah dan mewariskan sesuatu bagi dunia dengan semangat kemelayuan itu. Dan bukan sebagai sebuah penjajahan baru ! ****

Oleh : Rida K Liamsi, CEO Genta Melayu Serumpun Corp.

Kertas Kerja untuk seminar kebudaayaan Melayu, di Jogjakarta, 23 Juni 2009.

0 komentar:

Posting Komentar